Rabu, 19 November 2014

Eksistensialisme Pendidikan



Memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu.Secara umum,Eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektivitas pengalaman manusia dan tindakan konkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas.
Beberapa tokoh dalam aliran ini :
Jean paul satre,Soren kierkegaard,Martin Heidegger,Karl jasper,Gabril Marcel,Paul Tilich.
Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kier Kegard (Denmark:1813-1855). Inti masalahnya ialah: Apa itu kehidupan manusia? Apa tujuan dari kegiatan manusia? Bagaimana kita menyatakan keberadaban manusia? Pokok pemikirannya dicurahkan kepada pemecahan yang konkret terhadap persoalan arti “berada” mengenai manusia. Tokoh-tokoh lainnya yang kita kenal diantaranya: Martin BuberMartin HeidegerJean Paul SatreKarl Jasper, Gabril MarcellPaul Tillich.
Tulisan-tulisan Jean Paul Satre (1905-1980), filosof Prancis terkenal, penulis, dan penulis naskah drama, menjadi yang paling bertanggung jawab untuk penyebaran gagasan-gagasan eksistensialisme yang luas. Menurut Satre (Parkay, 1998), setiap individu terlebih dahulu hadir dan kemudian ia harus memutuskan apa yang ada untuk dimaknai. Tugas menentukan makna keberadaan/eksistensi ada pada individu seseorang: tidak ada system keyakinan filosofis yang dirumuskan sebelumnya dapat mengatakan pada seseorang siapa orang itu. Ini sampai masing-masing dari kita memutuskan siapa kita adanya. Selanjutnya menurut Satre, “Eksistensi mendahului esensi… Terlebih dahulu, manusia ada, hadir, muncul di panggung, dan hanya setelah itu menentukan dirinya sendiri.
Menurut Parkay (1998) terdapat dua aliran pemikiran eksistensialisme, yang satu bersifat theistic (bertuhan), yang lainnya atheistic (tidak bertuhan). Kebanyakan dari pandangan-pandangan itu masuk kedalam aliran pemikiran pertama dengan menyebut  diri mereka sendiri sebagai kaum Eksistensialisme Kristen dan menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu kerinduan akan suatu wujud sempurna, Tuhan. Melalui kerinduan ini tidak membuktikan keberadaan Tuhan, orang-orang dapat secara bebas memilih untuk tinggal dalam kehidupan mereka seakan-akan ada Tuhan.
 Eksistensialisme atheistic memiliki pemikiran bahwa  pendirian tersebut (theistik) merendahakan kondisi manusia. Dikatakan bahwa kita harus memiliki suatu fantasi agar dapat tinggal dalam kehidupan tanggungjawab moral. Penfirian semacam itu membebaskan manusia dari tanggung jawab untuk berhubungan dengan kebebasan pilihan sempurna yang dimiliki kita semua. Pendirian itu juga menyebabkan mereka menghindari fakta yang ”didapat itu terlepas”, “kita sendirian, dengan tidak ada maaf”, dan “kita terhukum agar bebas”.
Eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap  suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak bentuk kemutlakan rasional. Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman dan situasi sejarah yang ia alami dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak  serta spekulatif, baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang  tumbuh dari dirinyadan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya. Atas dasar pandangannya itu , sikap dikalangan eksistensialisme atau penganut aliran ini sering kali tampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Menurut eksistensialisme, Realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, kita harus menggambarkan apa yang ada dalam diri kita, bukan yang ada diluar kondisi manusia. Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran akan dirinya sendiri, dan juga tidak terdapat komunikasi antara satu dengan lainnya. Tidak demikian halnya dengan beradanya manusia. Manusia berada bersama dengan manusia lainnya sama, yaitu sederajat.
Pandangannya tentang pendidikan disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism and Education,  bahwa “Eksistensialisme tidak menghendaki adeanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk” oleh sebab itu eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai “Existentialism’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi dikalangan ahli pendidikan merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran eksistensialisme. Di sini agaknya mengapa aliran eksistensialisme tidak banyakdibicarakan dalam filsafat pendidikan.
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua. Dengan demikian eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakanaliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu : “filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral”. Maka, di sini letak kesulitan merumuskan pengertian eksistensialisme – sebagai aliran filsafat. Bahkan para filosof eksistensialis sendiri tidak memperoleh perumusan yang sama tentang eksistensialisme itu per definisi.
Kehidupan ini penuh dengan berbagai pelaksanaan kebiasaan dan pengulangan kegiatan secara rutin dari hari ke hari yang berlangsung tertib. Di dalam kebiasaan dan kegiatan yang dilakukan secara rutin itu, terdapat nilai-nilai atau norma-norma yang menjaditolak ukur tentang benar tidaknya sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. Norma-norma itu terhimpun menjadi aturan yang harus dipatuhi, karena setiap penyimpangan atau pelanggaran, akan menimbulkan keresahan, keburukan dan kehidupan pun berlangsung tidak efektif atau bahkan tidak efisien. Dengan demikian berarti manusia dituntut untuk mematuhi berbagai ketentuan atau harus hidup secara berdisiplin, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakatnya.
Peserta didik sejak dini harus dikenalkan dengan nilai-nilai yang mengatur kehidupan manusia, yang berguna bagi dirinya masing-masing agar berlangsung tertib, efisien, dan efektif. Dengan kata lain setiap pesrta didik harus dibantu hidup secara disiplin, dalam arti mau dan mampu mematuhi atau mentaati ketentuan yang berlaku dilingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Hakekat pendidikan menurut eksistensialisme dalam pendidikan adalah menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing dan menemukan jati dirinya, karena masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung jawab atas diri dan nasibnya sendiri.lalu metode yang digunakannya adalah untuk mendorong siswa mengikuti proyek-proyek yang membantu mereka untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang di perlukan.
Eksistensialisme berpendapat bahwa pelajar adalah individu yang dapat mengembangkan potensinya masing-masing untuk mencapai jati dirinya. Sedangkan pengajar adalah pembimbing dan stimulator berfikir reflektif melalui panggilan pertanyaan-pertanyaan, bukan memberi intruksi, memiliki kejuruan ilmiah, integritas, dan kreatifitas serta figure yang tidak mencampuri perkembangan minat dan bakat siswa.
sehingga manusia bisa menjadi manusia yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan dan komitmen pribadi dalam kehidupan. Neitzche, filsuf Jerman (1844-1900) yang tujuan filsafatnya menjawab pertanyaan “bagaimana menjadi manusia unggul?” dan menurut dia jawabannya adalah manusia bisa menjadi manusia unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.  Kedua tokoh diatas muncul karena adanya perang dunia pertama dan situasi Eropa pada saat itu, sehingga mereka tampil untuk menjawab pandangan tentang manusia.
 Ada beberapa pemikiran yang sangat menonjol dikalangan eksistensialisme. Antara lain: Menurut eksistensialitas, ada dua jenis filsafat tradisional yaitu filsafat spekulatif dan skeptis. Filsafat spekulatif menjelaskan  tentang hal-hal yang fundamental tentang pengalaman, dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam yang secara inheren telah ada dalam diri individu. Filsafat skeptik berpandangan bahwa semua pengalaman manusia adalah palsu, tidak ada satupun yang dapat kita kenal dari realitas. Mereka berpendapat bahwa konsep metafisika adalah bersifat sementara.
            Paham ekistensialisme bukan hanya satu, melainkan terdiri dari berbagai pandangan yang berbeda-beda. Namun, pandangan-pandangan tersebut memiliki beberapa persamaan, sehingga pandangan-pandangan mereka dapat digolongkan filsafat eksistensialisme. Persamaan-persamaan tersebut antara lain :
»        Motif pokok dari filsafat eksistensialisme ialah cara manusia berada, hanya manusialah yang pereksistensi.
»        Bereksistensi harus diartikan secara dinamis, bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi dan memecahkan.
»        Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalaman yang eksistensial (Harun Hadiwijono:1980:14).
            Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomologi,suatu pandangan yang mengambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana banda-benda tersebut menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tergantung pada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas. Pengetahuan yang diberikan disekolah bukanlah sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri (Usiono:2006:137).
            pemahaman eksistensi terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam bertindak. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita, melainkan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun untuk menentukan pilhan yang terbaik itu yang paling sulit. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang kan menerima akibat dari perbuatannya
            Secara relatif, eksistensialisme tidak begitu dikenal dalam dunia pendidikan, tidak menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah. Sebaliknya, penganut eksistensialisme kebingungan dengan apa yang akan mereka temukan melalui pembangunan pendidikan.  Mereka menilai bahwa tidak ada yang disebut pendidikan, tetapi bentuk propaganda untuk memikat orang lain. Mereka juga menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan memunculkan bahaya yang nyata, sejak penyiapan murid sebagai konsumen atau menjadikan mereka penggerak mesin pada teknologi industri dan birokrasi modern. Malahan sebaliknya pendidikan tidak membantu membentuk kepribadian dan kreativitas, sehingga para eksistensialis mengatakan sebagian besar sekolah  melemahkan dan mengganggu atribut-atribut esensi kemanusiaan.
            Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan praktik pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan sosio-ekonomi yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran tertentu. Sekolah menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti memperoleh pekerjaan dengan gaji yang tinggi dan menaiki tangga menuju ke kalangan ekonomi kelas atas; sekolah juga menentukan tujuan untuk menjadi warga negara yang baik, juga menentukan apa yang menjadi kesuksesan sosial di masyarakat. Siswa diharapkan untuk belajar peran-peran ini dan berperan dengan baik pula.
Eksistensialitas sebagai filsafat sangat menekankan individualitas, dalam hubungannya dengan pendidikan sangatt erat sekali, kerena keduanya bersinggungan satu masalah dengan masalah yang lainnya, yaitu manusia, hidup, hubungan antara manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan (usiono:2006:139). Pendidikan, proses pembelajaran harus berlangsung sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik, tidak ada pemaksaan penguasaan pengetahuanm sikap dan keterampilan, melainkan ditaawarkan. Tuntutlah peserta didik agar dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Guru hendaknya memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu menemukan makna dari kehidupan mereka (TIM Pengajar UNIMED:2011:32).
            Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan berlaku secara umum.
            Kurikulum pada sekolah menurut eksistensialis haruslah  terbuka terhadap perubahan karena  ada dinamika dalam konsep kebenaran, penerapan, dan perubahan-perubahannya. Melalui perspektif tersebut, siswa harus  memilih mata pelajaran yang terbaik. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa mata pelajaran dan pendekatan kurikuler pada filsafat tradisional tidak diberi tempat.
            Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berfikir relatif dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak memberikan interuksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luasa agar betul-betul menghasilkan diskusi yang memuaskan tentang mata pelajaran. Diskusi adalah salah satu metode utama dalam pandangan eksistensialisme (usiono:2006:141).