Memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu.Secara
umum,Eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektivitas pengalaman
manusia dan tindakan konkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional
untuk hakekat manusia atau realitas.
Beberapa tokoh dalam aliran ini :
Jean paul satre,Soren kierkegaard,Martin
Heidegger,Karl jasper,Gabril Marcel,Paul Tilich.
Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kier Kegard (Denmark:1813-1855). Inti masalahnya ialah: Apa itu kehidupan manusia? Apa
tujuan dari kegiatan manusia? Bagaimana kita menyatakan keberadaban manusia?
Pokok pemikirannya dicurahkan kepada pemecahan yang konkret terhadap persoalan
arti “berada” mengenai manusia. Tokoh-tokoh lainnya yang kita kenal
diantaranya: Martin Buber, Martin
Heideger, Jean Paul Satre, Karl Jasper, Gabril
Marcell, Paul Tillich.
Tulisan-tulisan Jean Paul Satre (1905-1980), filosof Prancis terkenal, penulis,
dan penulis naskah drama, menjadi yang paling bertanggung jawab untuk
penyebaran gagasan-gagasan eksistensialisme yang luas. Menurut Satre (Parkay, 1998), setiap
individu terlebih dahulu hadir dan kemudian ia harus memutuskan apa yang ada
untuk dimaknai. Tugas menentukan makna keberadaan/eksistensi ada pada individu
seseorang: tidak ada system keyakinan filosofis yang dirumuskan sebelumnya
dapat mengatakan pada seseorang siapa orang itu. Ini sampai masing-masing dari
kita memutuskan siapa kita adanya. Selanjutnya menurut Satre, “Eksistensi
mendahului esensi… Terlebih dahulu, manusia ada, hadir, muncul di panggung, dan
hanya setelah itu menentukan dirinya sendiri.
Menurut Parkay (1998) terdapat dua aliran pemikiran
eksistensialisme, yang satu bersifat theistic (bertuhan), yang
lainnya atheistic (tidak bertuhan). Kebanyakan dari
pandangan-pandangan itu masuk kedalam aliran pemikiran pertama dengan menyebut diri mereka sendiri sebagai kaum
Eksistensialisme Kristen dan menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu kerinduan
akan suatu wujud sempurna, Tuhan. Melalui kerinduan ini tidak membuktikan
keberadaan Tuhan, orang-orang dapat secara bebas memilih untuk tinggal dalam
kehidupan mereka seakan-akan ada Tuhan.
Eksistensialisme atheistic memiliki
pemikiran bahwa pendirian tersebut (theistik) merendahakan kondisi
manusia. Dikatakan bahwa kita harus memiliki suatu fantasi agar dapat tinggal
dalam kehidupan tanggungjawab moral. Penfirian semacam itu membebaskan manusia
dari tanggung jawab untuk berhubungan dengan kebebasan pilihan sempurna yang
dimiliki kita semua. Pendirian itu juga menyebabkan mereka menghindari fakta
yang ”didapat itu terlepas”, “kita sendirian, dengan tidak ada maaf”, dan “kita
terhukum agar bebas”.
Eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau
tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak bentuk kemutlakan rasional. Dengan
demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman dan
situasi sejarah yang ia alami dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya
abstrak serta spekulatif, baginya,
segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinyadan kemampuan serta
keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya. Atas dasar pandangannya itu ,
sikap dikalangan eksistensialisme atau penganut aliran ini sering kali tampak
aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to adalah lebih
banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Menurut
eksistensialisme, Realitas
adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, kita harus
menggambarkan apa yang ada dalam diri kita, bukan yang ada diluar kondisi
manusia. Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala
berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia.
Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi.
Keberadaan benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran akan dirinya sendiri,
dan juga tidak terdapat komunikasi antara satu dengan lainnya. Tidak demikian
halnya dengan beradanya manusia. Manusia berada bersama dengan manusia lainnya
sama, yaitu sederajat.
Pandangannya tentang pendidikan disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam
Existentialism and Education, bahwa
“Eksistensialisme tidak menghendaki adeanya aturan-aturan pendidikan dalam
segala bentuk” oleh sebab itu eksistensialisme dalam hal ini menolak
bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep
pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai “Existentialism’s
concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan
kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang banyak
mengundang reaksi dikalangan ahli pendidikan merupakan salah satu model
pendidikan yang dikehendaki aliran eksistensialisme. Di sini agaknya mengapa
aliran eksistensialisme tidak banyakdibicarakan dalam filsafat pendidikan.
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari
sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat
perang dunia kedua. Dengan demikian eksistensialisme pada hakikatnya adalah
merupakanaliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia
sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat
eksistensi. Paham eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada
dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti
katanya, yaitu : “filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema
sentral”. Maka, di sini letak kesulitan merumuskan pengertian eksistensialisme
– sebagai aliran filsafat. Bahkan para filosof eksistensialis sendiri tidak
memperoleh perumusan yang sama tentang eksistensialisme itu per definisi.
Kehidupan ini penuh
dengan berbagai pelaksanaan kebiasaan dan pengulangan kegiatan secara rutin
dari hari ke hari yang berlangsung tertib. Di dalam kebiasaan dan kegiatan yang
dilakukan secara rutin itu, terdapat nilai-nilai atau norma-norma yang
menjaditolak ukur tentang benar tidaknya sesuatu yang dilakukan oleh seseorang.
Norma-norma itu terhimpun menjadi aturan yang harus dipatuhi, karena setiap
penyimpangan atau pelanggaran, akan menimbulkan keresahan, keburukan dan
kehidupan pun berlangsung tidak efektif atau bahkan tidak efisien. Dengan
demikian berarti manusia dituntut untuk mematuhi berbagai ketentuan atau harus
hidup secara berdisiplin, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakatnya.
Peserta didik sejak
dini harus dikenalkan dengan nilai-nilai yang mengatur kehidupan manusia, yang
berguna bagi dirinya masing-masing agar berlangsung tertib, efisien, dan
efektif. Dengan kata lain setiap pesrta didik harus dibantu hidup secara
disiplin, dalam arti mau dan mampu mematuhi atau mentaati ketentuan yang
berlaku dilingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Hakekat pendidikan
menurut eksistensialisme dalam pendidikan adalah menghendaki agar pendidikan
selalu melibatkan peserta didik dalam mencari pilihan-pilihan untuk memenuhi
kebutuhannya masing-masing dan menemukan jati dirinya, karena masing-masing
individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung jawab atas diri dan nasibnya
sendiri.lalu metode yang digunakannya adalah untuk mendorong siswa mengikuti
proyek-proyek yang membantu mereka untuk mengembangkan keterampilan dan
pengetahuan yang di perlukan.
Eksistensialisme
berpendapat bahwa pelajar adalah individu yang dapat mengembangkan potensinya
masing-masing untuk mencapai jati dirinya. Sedangkan pengajar adalah pembimbing
dan stimulator berfikir reflektif melalui panggilan pertanyaan-pertanyaan,
bukan memberi intruksi, memiliki kejuruan ilmiah, integritas, dan kreatifitas
serta figure yang tidak mencampuri perkembangan minat dan bakat siswa.
sehingga manusia bisa
menjadi manusia yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan dan komitmen
pribadi dalam kehidupan. Neitzche, filsuf Jerman (1844-1900) yang tujuan
filsafatnya menjawab pertanyaan “bagaimana menjadi manusia unggul?” dan menurut
dia jawabannya adalah manusia bisa menjadi manusia unggul jika mempunyai
keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani. Kedua tokoh
diatas muncul karena adanya perang dunia pertama dan situasi Eropa pada saat
itu, sehingga mereka tampil untuk menjawab pandangan tentang manusia.
Ada beberapa pemikiran yang sangat menonjol
dikalangan eksistensialisme. Antara lain: Menurut eksistensialitas, ada dua
jenis filsafat tradisional yaitu filsafat spekulatif dan skeptis. Filsafat
spekulatif menjelaskan tentang hal-hal yang fundamental tentang
pengalaman, dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam yang secara
inheren telah ada dalam diri individu. Filsafat skeptik berpandangan bahwa
semua pengalaman manusia adalah palsu, tidak ada satupun yang dapat kita kenal
dari realitas. Mereka berpendapat bahwa konsep metafisika adalah bersifat
sementara.
Paham ekistensialisme bukan hanya satu, melainkan terdiri dari berbagai
pandangan yang berbeda-beda. Namun, pandangan-pandangan tersebut memiliki
beberapa persamaan, sehingga pandangan-pandangan mereka dapat digolongkan
filsafat eksistensialisme. Persamaan-persamaan tersebut antara lain :
»
Motif pokok dari filsafat eksistensialisme ialah cara manusia berada, hanya
manusialah yang pereksistensi.
»
Bereksistensi harus diartikan secara dinamis, bereksistensi berarti menciptakan
dirinya secara aktif, berbuat, menjadi dan memecahkan.
»
Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalaman yang
eksistensial (Harun Hadiwijono:1980:14).
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat
fenomologi,suatu pandangan yang mengambarkan penampakan benda-benda dan
peristiwa-peristiwa sebagaimana banda-benda tersebut menampakkan dirinya
terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tergantung pada pemahamannya
tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas.
Pengetahuan yang diberikan disekolah bukanlah sebagai alat untuk memperoleh
pekerjaan atau karir anak, melainkan dapat dijadikan alat perkembangan dan alat
pemenuhan diri (Usiono:2006:137).
pemahaman eksistensi terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam bertindak.
Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita, melainkan suatu potensi untuk
suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun untuk
menentukan pilhan yang terbaik itu yang paling sulit. Berbuat akan menghasilkan
akibat, dimana seseorang kan menerima akibat dari perbuatannya
Secara relatif, eksistensialisme tidak begitu dikenal dalam dunia pendidikan,
tidak menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah. Sebaliknya, penganut
eksistensialisme kebingungan dengan apa yang akan mereka temukan melalui
pembangunan pendidikan. Mereka menilai bahwa tidak ada yang disebut
pendidikan, tetapi bentuk propaganda untuk memikat orang lain. Mereka juga
menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan memunculkan bahaya yang nyata, sejak
penyiapan murid sebagai konsumen atau menjadikan mereka penggerak mesin pada
teknologi industri dan birokrasi modern. Malahan sebaliknya pendidikan tidak
membantu membentuk kepribadian dan kreativitas, sehingga para eksistensialis
mengatakan sebagian besar sekolah melemahkan dan mengganggu
atribut-atribut esensi kemanusiaan.
Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan praktik pendidikan
bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan sosio-ekonomi yang
membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran tertentu. Sekolah
menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti memperoleh pekerjaan dengan
gaji yang tinggi dan menaiki tangga menuju ke kalangan ekonomi kelas atas;
sekolah juga menentukan tujuan untuk menjadi warga negara yang baik, juga
menentukan apa yang menjadi kesuksesan sosial di masyarakat. Siswa diharapkan
untuk belajar peran-peran ini dan berperan dengan baik pula.
Eksistensialitas
sebagai filsafat sangat menekankan individualitas, dalam hubungannya dengan
pendidikan sangatt erat sekali, kerena keduanya bersinggungan satu masalah
dengan masalah yang lainnya, yaitu manusia, hidup, hubungan antara manusia,
hakikat kepribadian, dan kebebasan (usiono:2006:139). Pendidikan, proses
pembelajaran harus berlangsung sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik,
tidak ada pemaksaan penguasaan pengetahuanm sikap dan keterampilan, melainkan
ditaawarkan. Tuntutlah peserta didik agar dapat menemukan dirinya dan kesadaran
akan dunianya. Guru hendaknya memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk
memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu menemukan
makna dari kehidupan mereka (TIM Pengajar UNIMED:2011:32).
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu
mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki
kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya,
sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan berlaku
secara umum.
Kurikulum pada sekolah menurut
eksistensialis haruslah
terbuka terhadap perubahan
karena ada dinamika dalam konsep kebenaran, penerapan, dan
perubahan-perubahannya. Melalui perspektif tersebut, siswa harus memilih
mata pelajaran yang terbaik. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa mata pelajaran
dan pendekatan kurikuler pada filsafat tradisional tidak
diberi tempat.
Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam
mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun
begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih dan
memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna
dari kehidupan mereka. Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan
seksama sehingga siswa mampu berfikir relatif dengan melalui
pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak memberikan
interuksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luasa agar betul-betul
menghasilkan diskusi yang memuaskan tentang mata pelajaran. Diskusi adalah
salah satu metode utama dalam pandangan eksistensialisme (usiono:2006:141).